Kaidah Ke. 17 : Tergesa-gesa Ingin Mendapatkan Sesuatu sebelum Waktunya
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketujuh Belas :
مَنْ تَعَجَّلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
Barangsiapa Tergesa-gesa Ingin Mendapatkan Sesuatu Sebelum Datang Waktunya Maka Ia Mendapatkan Hukuman Dengan Tidak Mendapatkan Apa Yang Ia Inginkan Tersebut
Kaidah ini menjelaskan tentang ‘iqâb (hukuman) yang didapatkan oleh seseorang yang terburu-buru mendapatkan sesuatu yang ia inginkan sebelum datang waktunya. Ia mendapatkan hukuman berupa kebalikan dari apa ia inginkan itu. Demikian itu karena manusia adalah hamba yang dikuasai oleh Allah Azza wa Jalla dan berada di bawah perintah dan hukum-Nya. Maka sudah sepantasnya bagi manusia untuk tunduk kepada hukum yang telah digariskan oleh-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [al-Ahzâb/33:36]
Oleh karena itu, apabila seseorang tergesa-gesa mendapatkan perkara-perkara yang menjadi konsekuensi hukum syar’i sebelum terpenuhi sebab-sebabnya yang shahîh, maka ia tidak akan mendapatkan manfaat sedikitpun, bahkan ia memperoleh hukuman berupa kebalikan dari yang ia inginkan.
Di antara implementasi dan contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Barangsiapa tergesa-gesa untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya atau orang lain dengan cara membunuh orang tuanya atau orang lain yang akan memberikan warisan kepadanya itu, maka ia mendapatkan ‘iqâb (hukuman) berupa diharamkan dari mendapatkan warisan tersebut. Demikian itu dikarenakan ia telah tergesa-gesa untuk mendapatkan warisan dengan cara yang haram maka ia diharamkan dari mendapatkan warisan tersebut.
2. Tentang orang yang mendapatkan wasiat, yang dijanjikan akan mendapatkan suatu harta tertentu setelah meninggalnya si pemberi wasiat. Apabila ia tergesa-gesa untuk mendapatkannya dengan membunuh si pemberi wasiat maka ia tidak berhak mendapatkan wasiat tersebut.
3. Tentang mudabbar, yaitu budak yang dijanjikan bebas oleh tuannya setelah tuannya tersebut meninggal. Apabila si budak tersebut tergesa-gesa untuk mendapatkan kebebasan dengan cara membunuh tuannya, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan kebebasan dari statusnya sebagai budak.
4. Seorang laki-laki yang berada dalam keadaan sakit parah yang menyebabkan kematiannya. Apabila sebelum meninggal ia menceraikan isterinya dengan tujuan supaya isterinya tidak mendapatkan warisan darinya, maka dalam hal ini si isteri tersebut tetap berhak mendapatkan warisan darinya, meskipun si isteri tersebut telah selesai dari masa iddah, selagi belum menikah lagi dengan laki-laki lain. Dan ada pula yang berpendapat bahwa si isteri tersebut tetap mendapatkan warisan meskipun telah menikah lagi dengan laki-laki lain karena ia mempunyai udzur.
5. Termasuk juga dalam implementasi kaidah ini adalah bahwasanya orang yang tergesa-gesa untuk melampiaskan syahwatnya di dunia dalam perkara-perkara yang haram, maka ia dihukum dengan tidak mendapatkannya di akhirat selama belum bertaubat di dunia[1]. Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya. [al-Ahqâf/46:20]
Berkebalikan dengan kaidah ini, maka barangsiapa meninggalkan suatu kejelekan dikarenakan mengharap keridhaan Allah Azza wa Jalla , maka Allah Azza wa Jalla akan memberikan kepadanya suatu pengganti yang lebih baik dari yang ia tinggalkan tersebut. Wallâhu a’lam.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Misalnya orang laki-laki yang memakai pakaian sutra di dunia maka ia diharamkan dari memakainya di akhirat, dan orang yang minum khamr di dunia diharamkan dari meminumnya di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa memakai sutra di dunia maka ia tidak akan memakainya di akhirat. Dan barangsiapa meminum khamr maka ia tidak akan meminumnya di akhirat”. [HR. al-Bukhâri no. 5832 dan Muslim 2073 dari Sahabat Anas bin Mâlik] (Pent)
QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kedelapan Belas :
تُضْمَنُ الْمِثْلِيَّاتُ بِمِثْلِهَا وَالْمُتَقَوَّمَاتُ بِقِيْمَتِهَا
Barang Mitsliyat Diganti Dengan Barang Semisalnya Dan Mutaqawwamat Diganti
Dengan Harganya
Kaidah ini berkaitan dengan kasus seseorang yang mempunyai tanggungan untuk mengganti barang orang lain dikarenakan barang tersebut ia rusakkan, ia hilangkan, atau karena sebab lainnya. Dalam hal ini, timbul permasalahan, apakah ia mengganti dengan barang yang semisal ataukah cukup mengganti dengan harga tertentu senilai barang yang harus diganti tersebut.
Maka, kaidah ini menjelaskan bahwa apabila barang yang dirusakkan tersebut berupa mitsliyat maka diganti dengan barang yang semisal dengannya. Dan apabila barang yang dirusakkan tersebut berupa mutaqawwamat maka diganti dengan nilai barang tersebut.
Namun, para Ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan batasan mitsliyat dan mutaqawwamat. Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa mitsliyat adalah semua barang yang diperjual-belikan dengan ditakar atau ditimbang. Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang yang diperjual-belikan selain dengan ditakar atau ditimbang.[1]
Para Ulama’ yang lain berpendapat bahwa mitsliyat itu lebih umum daripada batasan di atas. Mereka berpendapat bahwa mitsliyat adalah segala sesuatu yang mempunyai misal yang serupa atau mirip dengannya. Sedangkan mutaqawwamat adalah barang-barang selain kategori tersebut. Pendapat inilah yang benar dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut :
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam seekor onta, kemudian beliau ingin mengembalikan ganti onta tersebut kepada pemiliknya. Namun, beliau tidak mendapatkan onta yang semisal. Maka beliau memberikan ganti berupa onta yang lebih baik dari onta tersebut.[2]
Hadits ini menunjukkan bahwa mitsliyat tidak terbatas pada barang-barang yang diperjual-belikan dengan ditimbang atau ditakar semata.
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Aisyah Radhiyallahu anhuma untuk menganti piring Zainab binti Jahsy, dikarenakan Aisyah Radhiyallahu anhuma telah memecahkan piringnya.[3]
3. Karena memberikan ganti dengan barang yang semisal atau serupa terkandung di dalamnya dua hal bagi pemilik barang, yaitu didapatkannya nilai barang yang diganti dan terealisasinya maksud pemilik barang dalam manfaat barang tersebut. Maka, inilah pendapat yang benar berkaitan dengan batasan mitsliyat dan mutaqawwamat.
Di antara implementasi dan penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
1. Berkaitan dengan perusakan barang. Seseorang yang merusakkan barang orang lain dan sedangkan barang tersebut termasuk kategori mitsliyat, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa. Namun, apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup mengganti dengan nilai harga barang tersebut.
2. Berkaitan dengan kasus pinjam meminjam. Seseorang yang meminjam barang orang lain untuk dimanfaatkan, misalnya ia meminjam sejumlah makanan atau selainnya untuk memenuhi kebutuhannya, maka ia wajib mengembalikan barang tersebut. Apabila barang itu termasuk kategori mitsliyat maka ia wajib mengembalikan dengan barang yang serupa. Dan apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup mengembalikan dengan nilai harga barang tersebut.
3. Seseorang yang dititipi barang oleh orang lain. Kemudian barang tersebut hilang dikarenakan keteledorannya, atau ia berlebih-lebihan dalam menggunakan barang tersebut. Maka, ia wajib mengganti barang tersebut. Apabila barang tersebut termasuk kategori mitsliyat maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa. Dan apabila barang tersebut termasuk kategori mutaqawwamat maka ia cukup mengganti dengan nilai harga barang tersebut.
4. Seseorang yang menyembelih udhiyah (hewan kurban). Kemudian ia memakan semua daging hewan kurbannya tersebut tanpa menyedekahkan sedikitpun. Maka, dalam hal ini ia wajib bersedekah dengan daging hewan sejenis sekedar jumlah yang wajib sebagai ganti atas kewajibannya bersedekah dengan daging hewan kurban tersebut.
Demikianlah kaidah ini diterapkan pada permasalahan-permasalahan lain yang serupa. Wallâhu a’lam.
(Sumber : Al-Qawâ’id wal-Ushûl al-Jûmi’ah wal-Furûq wat-Taqâsîm al-Badî’ah an-Nâfi’ah, karya Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di, Tahqîq: Dr. Khâlid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih, Dârul-Wathan, Cetakan II, Tahun 1422 H – 2001 M.)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2518-kaidah-ke-17-18-barang-mitsliyat-diganti-dengan-barang-semisalnya.html